Rabu, 20 Januari 2010

ISLANDS OF WONDER

ISLANDS OF WONDER


Wakatobi menyihir dunia dengan keindahan alamnya. Menyimpan 590 spesies ikan, gugusan pulau di Sulawesi Tenggara ini adalah destinasi wajib para penyelam. Backpacker’s senantiasa meniti rute murah ke Wakatobi, ngeteng dari perahu ke perahu, ojek ke ojek, guna menelusuri pantai-pantai berpasir putih, keceriaan anak-anak Suku Bajo, dan keajaiban alam yang tercipta saat sinar mentari menembus laut dan menerangi terumbu karang.
Sore baru beranjak saat ojek saya meluncur ke Pelabuhan Murhum, Bau-Bau, menembus udara dingin Sulawesi Tenggara. Sebuah kapal kayu telah menanti. Namanya KM Aksar Saputra 01. Badannya besar dengan bobot 170 gross ton atau sekitar 173 ribu kilogram. Ini kapal kayu penumpang terbesar yang pernah saya tumpangi. Bahkan sebenarnya ini kapal penumpang pertama saya. Selama tujuh bulan berkelana di Sulawesi, saya selalu naik kapal barang. Kapal sudah lumayan ramai dengan calon penumpang, sehingga saya buru-buru membeli tiket dan memesan kamar.
Aksar Saputra bukan kapal pesiar, tak ada kamar berpendingin ruangan di sini. Alih-alih yang tersedia adalah kabin kayu berkapasitas dua sampai empat tempat tidur bertingkat mirip barak tentara. Ini adalah kelas yang paling mewah. Penumpang kelas standar bahkan tak mendapat kamar dan terpaksa tidur berjejer beralaskan kasur busa berlapis plastik.
Berkunjung ke Wakatobi adalah impian lama saya. Berita tentang keindahan kepulauan ini sejak lama tersiar ke penjuru bumi, tapi sayangnya saya belum sempat menyaksikannya sendiri. Wakatobi adalah akronim dari nama pulau-pulau besar penyusunnya, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Dulu ia dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi. Ada dua versi sejarah tentang nama ini. Yang pertama mengatakan Tukang Besi diberikan oleh seorang Belanda yang melihat banyak perajin besi di kepulauan ini. Versi kedua mengklaim kata Tukang Besi berasal dari nama Tulukabessi, seorang raja yang memberontak di Pulau Wangi-Wangi.
Mendekati pukul sembilan malam, penumpang mulai masuk kamar. Sapaan pertama mereka kepada saya adalah “Mas wartawan ya”, Waduh, belum apa-apa sudah divonis begini, batin saya, padahal saya tidak menyukai profesi itu. Kapal ini adalah satu-satunya transportasi massal dari Bau-Bau ke Wakatobi. Mereka yang berduit pasti memesan kelas kamar. Ada pengusaha, kontraktor, pemborong, dan pekerja konstruksi. Mungkin karena saya tak masuk kategori profesi itu sehingga dikira jurnalis yang mau meliput kawasan itu.
Kapal angkat sauh tepat pukul 21.30. Selang 30 menit berlayar, nakhoda tiba-tiba menggeber mesin. Kapal kayu ini, meski tambun, ternyata sanggup berlari sangat kencang. Getaran mesinnya merambat hingga ke dinding dan lantai kapal, dan mengguncang semua orang di dalam kapal. Rasanya seperti naik bajaj yang sedang ngeden dijalan tanjakan. Butuh keahlian khusus agar bisa tidur dalam kondisi segaduh ini.
Pagi harinya, sekitar pukul enam waktu setempat, kapal merapat ke Pelabuhan Panjang di Kota Wanci yang merupakan ibukota Kabupaten Wakatobi. Matahari pagi yang elok menyambut saya. Setelah puas menghirup udara segar, tanpa membuang waktu saya segera menyetop ojek dan berangkat ke Pelabuhan Mola guna mengejar speedboat menuju Kaledupa. Perahu super cepat ini berangkat pukul 10.00 pagi setiap hari.
Sebelum berlayar, saya menghabiskan waktu berjalan mengitari Desa Mola yang didiami Suku Bajo. Mereka tinggal di rumah-rumah kayu sederhana dipinggir pantai. Fondasinya cukup unik rumah bertumpu di atas susunan batu karang dan kayu-kayu yang diletakkan melintang diatas bebatuan. Di bagian kampung yang lain, saya menyaksikan sebagian rumah yang relatif modern. Rumahnya dicat warna-warni serta dilengkapi fasilitas mewah berupa televisi dan antena parabola. Jalan-jalannya pun sudah beraspal halus. Dipinggir desa, saya melihat riuhnya bocah-bocah cilik mendayung sampan bermodalkan sebilah bambu. Sementara tak jauh dari mereka tampak seorang anak usia belasan tahun menyelam sambil membawa tombak. Ia sedang mengincar ikan balala, makanan favorit disini. Suku Bajo memang terkenal sebagai penyelam tangguh. Sejak kecil mereka sudah dilatih berenang dan menahan napas cukup lama di dalam air. Merekalah Deni si manusia ikan sebenarnya.
Semangkok mi instan rebus dan teh hangat manis jadi menu sarapan saya di kampung Bajo. Sempat kaget karena mi rebus disini rupanya tidak dimasak. Mi hanya direndam dalam air panas dan langsung disajikan. Bentuknya masih kotak seperti aslinya dan rasanya agak keras. Untung saja tehnya lumayan enak.
Waktu keberangkatan masih setengah jam lagi, tapi speedboat sudah sesak oleh penumpang. Di hadapan saya duduk sekelompok ibu-ibu yang bercakap-cakap dalam bahasa daerah. Suaranya luar biasa berisik. Bahkan bunyi mesin pun kalah santer. Saya tak mengerti sepatah kata pun yang mereka ucapkan. Speedboat melayani jurusan Kaledupa dan Tomia. Perlengkapannya terbilang dahsyat; jika umumnya speedboat dilengkapi tiga sampai empat mesin, speedboat di Mola memasang lima sampai enam mesin berkekuatan 40 pk. Sekadar info, satu speedboat berbahan fiberglass harganya Rp280 juta, sedang satu buah mesin 40 pk kira-kira Rp25 juta. Saya serasa naik Fortuner di samudra lepas. Hahaha… Daya mesin yang besar ini agaknya dibutuhkan karena kapasitas kapal mencapai 50 orang, ditambah lagi Wakatobi posisinya di tengah laut terbuka yang dikelilingi ombak ganas.
Speedboat melenggang kencang menembus angin timur yang mulai bergolak. Kami dijadwalkan transit di beberapa lokasi, yakni Bajo Sama Bahari, Ambeua, Buranga, dan Langge, lalu berlabuh di Lentea. Tiket speedboat Rp50 ribu per orang. Jika ingin menyewa perahu, tarifnya antara Rp5 sampai 8 jutaan. Di perjalanan saya sempat berkenalan dengan La Dedi dan akhirnya memutuskan menginap di kediamannya di Ambeua. Rencana untuk menginap di resor Hoga pun saya batalkan. Bicara soal nama, penduduk di daerah Buton dan sekitarnya sering menggunakan tambahan untuk laki-laki sebelum mencantumkan nama asli. Kombinasi ini kadang terdengar agak kocak. Misalnya ada La Dedi, La Kiki, La Irfan, dan La Joni.
Matahari tepat di atas kepala saat saya sampai di kediaman La Dedi di dekat pelabuhan Ambeua. Backpacker asing ternyata juga suka menginap di sini. Penataan kampung sekitar cukup mengesankan. Rumah-rumah tersusun apik dan lingkungannya bersih. Sebagian rumah yang berada paling tepi pekarangannya terdiri dari pasir putih, batu karang dan genangan air laut. Kerapian kawasan ini jauh mengalahkan kecamatan lain di Buton.