Jumat, 09 April 2010

Moluccas Magic

Moluccas Magic

Ternate menyimpan keindahan alam dan benteng-benteng tua peninggalan zaman perang. Warga yang ramah senantiasa menyambut turis dengan gaya bicara yang penuh singkatan. Dari kaki Gunung Gamalama, awal cerita dimulainya petualangan menjelajahi pulau eksotik di Maluku Utara ini. Selembar uang seribu rupiah membuat Ternate dikenal orang. Itu dulu. Saya tidak tahu apakah kini masih ada yang memperhatikan uang seribuan. Di satu sisi, ada gambar pahlawan nasional Kapitan Pattimura membawa kelewang, di sisi sebaliknya, terpampang Pulau Maitara dan Tidore yang dilukis dari Ternate.
Pesawat saya menderu keras saat hendak mendarat. Dari balik jendela, saya melihat sebuah danau indah di kejauhan. Sinar mentari memantulkan warna hijau toska pada permukaan air yang jernih. Pemandangan yang kurang lebih sama saat dulu saya menyaksikan Kawah Ijen yang kebetulan juga berwarna hijau toska akibat kandungan belerang.
Saya mendarat di Sultan Babullah, bandara mungil di Kota Ternate. Bandara yang terletak di pinggir pantai ini melayani penerbangan komersial dari Sulawesi dan penerbangan perintis dari pulau-pulau di sekitarnya. Jangan berharap mendapat pelayanan spesial karena hampir semuanya self-service, maklum bandara kecil didaerah. Saya cukup terkesan dengan keamanan Bandara Babullah dan kejujuran petugas serta masyarakatnya. Ini bukan asal memuji, tapi berdasarkan pengalaman pribadi.
Saya dijadwalkan terbang menggunakan Merpati Nusantara dari Surabaya ke Ternate. Tapi saat transit di Makassar terjadi kesalahan dalam pengaturan kursi, sehingga saya harus pindah ke pesawat berikutnya. Celakanya, tas saya masih tertinggal di dalam bagasi. Selang lima jam saya menyusul, barang-barang masih lengkap tergeletak di pojok ruangan. Di bandara modern yang dilengkapi banyak petugas dan kamera pengawas, peristiwa ini mungkin terdengar biasa. Tapi tidak di Babullah yang serba minim fasilitas. Saat menuju ruang bagasi, orang awam pun bisa tahu bandara ini minim fasilitas. Tidak ada conveyor belt, tidak ada AC, dan tidak ada troli. Semua barang-barang bawaan langsung disorongkan melalui roller bar besi. Penumpang langsung menyambut tasnya masing-masing. Suasananya hiruk-pikuk, namun keamanan tetap terjaga. Saya tidak mendengar seorang penumpang pun yang mengeluh akibat kehilangan barang, juga tak tampak porter yang menawarkan bantuan sambil memaksa.
Fajar menyingsing ketika saya melangkahkan kaki ke Schwering, bangunan beton yang memagari pantai Ternate dari abrasi laut. Kata schwering konon berasal dari bahasa Belanda. Tempat ini merupakan sarana wisata bagi masyarakat setempat, terutama di kala malam. Berbagai lapak, tenda makanan, tukang gorengan, dan permainan anak biasa memenuhi tepiannya.
Tapi, pagi ini, suasananya hening. Schwering terlihat asyik menikmati hangatnya mentari dan terpaan angin laut. Matahari menyembul malu-malu di belakang pulau Halmahera dan meninggalkan rona warna-warni di awan. Seorang nelayan terbangun dari tidurnya. Aktivitas warga agaknya siap dimulai. Angin mulai bertiup kencang dan menggeser awan yang berserakan di udara. Muncullah kemudian pemandangan yang jadi ikon nasional itu. Saya menyaksikan Kiematubu, gunung setinggi 1.730 meter di Pulau Tidore, serta Gunung Maitara disebelah kanannya yang ukurannya lebih kecil. Saya melihat dari sudut yang sama seperti si pelukis di uang seribuan. Pulau Maitara persis berada di antara Ternate dan Tidore—maitara berarti tengah-tengah. Disini hidup dua desa nelayan Ake Bai dan Doe-Doe. Terdapat beberapa titik snorkeling di sekitar pulau.
Sementara di Tidore, denyut kehidupan terpusat di Soasiu, ibukota pulau yang relatif kecil namun bersih. Jalanannya lengang dan sesekali terlihat angkot dan bentor hilir-mudik. Bentor atau becak bermotor merupakan kendaraan umum utama di sini. Rumah-rumah di sepanjang perjalanan dari Pelabuhan Rum menuju Soasiu berpagar rapi dengan cat yang seragam kombinasi hijau muda dan biru.
Pulau Tidore bisa dijangkau menggunakan speedboat yang berangkat dari Pelabuhan Bastiong di Ternate. Jika ingin ke Maitara, kita bisa naik speedboat dari Tidore selama 10 menit. Menyelami kehidupan dipelabuhan ternyata juga menarik. Saya meluncur menggunakan angkot menuju Pelabuhan Bastiong yang dihuni pasar tradisional dan terminal. Bastiong melayani rute ke berbagai pulau disekitarnya. Sebagian besar jalur dilayani oleh speedboat dan sisanya oleh kapal kayu. Sudah terbayang riuhnya tempat ini, apalagi posisinya berhadapan langsung dengan Pelabuhan Rum di Tidore. Tempat yang benar-benar cocok untuk street hunting.
Turun dari angkot, saya terkaget-kaget. Tampak di sana-sini ikan sebesar paha orang dewasa dijajakan di pasar. Warga setempat menyebutnya ikan asap, mungkin merujuk pada cara pengawetannya, yakni diasap. Bagi saya, ikan-ikan gemuk ini terlihat seperti tongkol. Seorang warga memberi tahu kalau nama aslinya adalah ikan fufu. Tapi sebenarnya ini juga bahasa lokal, sebab setahu saya yang ada adalah ikan fugu. Ikan asap ini cukup aman untuk dikonsumsi. Maklum saja, ikan-ikan segar ini didapat langsung dari laut, tak seperti ikan-ikan di pasar perkotaan di Jawa yang umumnya sudah melewati proses pengawetan. Baunya yang segar menemani langkah saya mengelilingi pelabuhan.