Kamis, 15 Juli 2010

Playground for Explorers


Playground for Explorers


Meski menyimpan keindahan layaknya pulau-pulau di Karibia, Talaga Raya bukanlah destinasi wisata. Hanya mereka yang berjiwa petualang yang sanggup menyusuri kawasan liar ditimur Indonesia ini. Rasanya seperti adegan di film The Perfect Storm tapi celakanya, ini bukan film, sebab nyawa benar-benar jadi taruhan.
Pukul 10.30 WITA, kira-kira pukul 09.30 waktu Jakarta, speedboat sarat penumpang membawa saya menyusuri lautan ganas Sulawesi. Perahu diombang-ambing angin timur yang berembus kencang. Permukaan air naik hingga berjarak sejengkal dari bibir jendela; tempiasnya beberapa kali menghunjam wajah saya. Beberapa perempuan menjerit saat ombak besar menghantam. Saya cuma bisa duduk pasrah terjepit di antara para penumpang panik. Jantung rasanya berhenti. Napas tersendat.
Sebelum situasi bertambah parah, saya mulai memikirkan strategi untuk menyelamatkan diri. Meloncat lewat jendela sepertinya akan lebih merepotkan, jendela terlalu sempit takutnya malah terjepit nanti jadi makin gawat. Satu-satunya cara adalah lewat pintu utama, tapi letaknya di moncong perahu, kira-kira enam langkah dari kursi. Tak mudah menjangkaunya saat perahu limbung, apalagi jika semua orang berpikiran untuk kabur lewat pintu yang sama.
Sudah dua jam perahu diamuk gelombang. Untungnya, nasib baik masih berpihak, setidaknya hari ini. Perahu akhirnya selamat sampai di dermaga. Saya, dan sekitar 50 penumpang lainnya, menginjak tanah dengan wajah seperti orang yang habis naik wahana Tornado di Dunia Fantasi pucat campur lega. Sulit dibayangkan bagaimana warga setempat sanggup melewati pengalaman menakutkan ini setiap hari. Di saat warga Jakarta sibuk berbicara busway dan monorail, warga di Indonesia Timur harus menantang maut hanya untuk berangkat kerja kesenjangan pembangunan yang sudah terjadi sejak televisi masih berwarna hitam putih, dan kita semua mengetahuinya.
Saya mendarat di Pulau Talaga Kecil yang merupakan Ibukota Kecamatan Talaga Raya. Ada dua pulau lain di kecamatan ini: Kabaena dan Talaga Besar. Semuanya masuk wilayah Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.
"Adakah kendaraan umum pak?" tanya saya kepada seorang bapak yang sedang mendorong perahu ke tepian.
"Tak bise cube ojek saje," jawabnya.
Kaget juga mendengar logat jiran di Buton. Setelah bercakap-cakap, barulah saya tahu pria ini sudah lima tahun bekerja di Malaysia. Minggu depan jatah cutinya habis dan ia akan segera kembali bekerja di perkebunan sawit. Indonesia dan Malaysia adalah dua produsen kakap kelapa sawit, komoditas yang meledak sejak dunia sibuk mencari bahan bakar alternatif.
Melangkahkan kaki memasuki perkampungan, saya mendapati fakta yang janggal: Pulau Talaga Kecil nyaris tidak memiliki tanah. Dimana-mana terlihat hamparan pasir dan bebatuan gamping yang mencuat, hingga pulau terkesan gersang. Layaknya pantai, pekarangan rumah warga ditumbuhi pohon kelapa. Bergerak ke selatan, kira-kira 25 menit berjalan kaki, saya sampai di Pantai Bungi. Kondisinya sangat bersih dan sepi. Sambil menunggu magrib, saya bersandar dipohon jambu mete, melepas lelah sembari menikmati pemandangan di sekeliling.
Pulau Talaga Kecil memiliki lanskap yang unik. Jika dilihat dari utara, bentuknya mirip piring yang tertelungkup. Beberapa teman melontarkan guyonan pulau ini mungkin berdiri diatas bangkai UFO. Namun sebenarnya pulau tersusun dari terumbu karang yang sudah mati. Kebetulan pertumbuhannya merata ke segala sisi dan menumpuk ditengah hingga melahirkan kontur piring terbalik.
Matahari tergelincir setinggi dada ketika saya bergerak ke sisi timur. Rona merah langit menyeruak dibalik pelabuhan tua. Jetty sederhana yang disusun diatas tumpukan karang rusak parah akibat terjangan ombak. Tak banyak pria yang terlihat disini. Sebagian pergi mengadu nasib sebagai TKI di Malaysia. Begitu banyaknya hingga muncul istilah jamal akronim dari janda Malaysia yang ditujukan bagi para istri yang ditinggal suaminya.
Berdiri di dekat masjid dipelabuhan tua, saya melihat gugusan pulau-pulau di kejauhan. Disisi kanan terdapat Pulau Kabaena yang berbentuk memanjang. Di sisi kiri ada Pulau Talaga Besar. Sementara persis didepan berdiri Tanjung Kokoe. Tekstur pulau terlihat jelas di bawah sorotan sinar matahari sore. Ayam mulai berkokok ketika saya menyusuri pesisir Desa Wulu, sekitar 20 menit dari Talaga Kecil. Tampak serombongan perahu datang membawa banyak jeriken kosong. Talaga Kecil tidak memiliki sumber air bersih, sehingga warganya harus pergi ke Wulu guna mengambil air dari mata air yang terletak dikaki bukit.
Habibi, seorang warga desa, bercerita penduduk Talaga Raya awalnya menetap di Wulu. Namun akibat diganggu makhluk halus, mereka terpaksa bermigrasi ke pulau-pulau tetangga. Kisah-kisah semacam ini terdengar dibanyak pulau di Indonesia. Perpindahan manusia sepertinya tak melulu terkait musim, bencana alam, atau kesuburan tanah, tapi melibatkan juga faktor mistik.
Saya meneruskan perjalanan dengan mendaki puncak diatas desa. Panorama kawasan Talaga Raya dari ketinggian sangatlah menawan. Saya menyaksikan hamparan laut yang jernih, tak kalah cantik dibandingkan laut Mediterania atau Karibia yang saya liat di YouTube. Di bawah terlihat Teluk Wulu yang teronggok di bibir pulau sambil merangkul pesisir, juga Pulau Talaga Kecil di sebelah kanan yang dikelilingi laut biru. Jika Richard Branson melihat apa yang saya lihat, ia mungkin akan membeli salah satu pulau diTalaga Raya lalu mengubahnya menjadi destinasi liburan premium.