Kamis, 20 Januari 2011




ALFRESCO DINING SOLO


ALFRESCO DINING SOLO

Tradisi tua dan peradaban modern bersanding manis diSolo. Pusat jajanan malam bertema “alfresco dining” menyajikan tengkleng dan pecel ndeso. Ratusan batik klasik dirawat rapi dimuseum yang berdiri dijalur city walk. Saya merekam dualitas unik dari kota yang sedang giat mempermak wajahnya ini. Nama acaranya Solo Batik Carnival, tapi yang disajikan bukan batik yang selama ini kita kenal bukan yang lazim dipakai orangtua kita, pejabat negara, atau yang biasa kita kenakan saat kondangan. Yang tampil adalah ratusan busana batik berdesain liar, seolah pemakainya adalah tokoh-tokoh dalam film Alice in Wonderland. Layaknya karnaval di Rio, kostum yang ditampilkan penuh warna dan aksesori. Batik dipadankan dengan hiasan kepala berbentuk ekor merak, bola-bola aneka warna, hiasan buntut dari kemoceng, dan masih banyak lagi. Diiringi alunan musik tradisional, sekitar 240 orang peragawan dan peragawati orang dewasa dan anak-anak melenggok diatas karpet merah dengan tema pakaian beragam. Ada yang bergaya kesatria, dewa-dewi dari kayangan, dan juga badut. Ini merupakan Solo Batik Carnival yang kedua. Panggung utamanya berdiri di ujung jalan Slamet Riyadi. Para peserta muncul dari balik gapura, berdansa sejenak di depan panggung, lalu berjalan beriringan sejauh enam kilometer menuju Balai Kota. Para utusan negara sahabat naik kereta kuda memimpin barisan, para pementas mengekor dibelakang mereka. Ribuan orang berkumpul membentuk pagar manusia guna menonton parade meriah ini. Kota Solo seakan berhenti karenanya. Solo Batik Carnival adalah salah satu upaya pemerintah kota menjadikan batik sebagai daya tarik wisata. Solo memang punya tradisi batik yang melegenda. Perusahaan-perusahaan batik papan atas lahir disini, begitu pula organisasi batik Sarekat Dagang Islam. Museum batik terkemuka, Museum Danar Hadi, berada di tengahnya. Solo Batik Carnival hendak merayakan tradisi emas ini. Batik dijadikan pakaian modern yang bias dinikmati dalam format pertunjukan jalanan, ia lucu dan menyenangkan, tak melulu berbentuk kebaya atau kemeja. Solo Batik Carnival merupakan atraksi wisata baru di Solo. Beberapa tahun terakhir, kota bernama lain Surakarta ini memang memiliki vitalitas baru. Festival-festival budaya dijadikan agenda tahunan. Pasar-pasar yang menjadi denyut nadi ekonomi rakyat dipermak jadi bersih. Kota ini juga membaptis dirinya sebagai Spirit of Java. Kreasi baru lainnya adalah city walk di sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Saya tinggalkan telepon genggam dan memacu langkah menyusuri kota yang masih mengantuk. Penjaja nasi liwet terlihat sibuk meladeni para pembeli yang berburu sarapan. Berkali-kali tukang becak menawari saya untuk berkeliling kota, tapi saya memilih berjalan kaki. City walk adalah gagasan dari Walikota Solo Joko Widodo yang terkesima dengan jalanan artistik Kota Zagreb di Kroasia. Misinya adalah memanjakan pejalan kaki yang hak-haknya sering terabaikan. Meski terbilang belum maksimum, dan masih terlihat salah kaprah seperti trotoar yang dipakai untuk parkir becak, namun pedestrian sudah bisa merasakan nikmatnya jalan santai tanpa terintimidasi pengguna kendaraan. Jalur trem membentang dijalur city walk. Pemkot tengah berburu lokomotif kuno diAmbarawa untuk dijadikan kereta wisata guna melewatinya. Kereta api buatan Jerman keluaran 1902 menjadi pilihan untuk menampilkan paras Solo dimasa silam. Kereta nantinya akan menempuh rute sejauh enam kilometer, dari Stasiun Purwosari menuju Stasiun Kota Sangkrah. Masih perlu menunggu beberapa bulan lagi hingga lokomotif beroperasi. Satu alasan lagi untuk kembali ke Solo. Dunia kuliner Solo juga menawarkan atraksi segar. Saya pergi ke pusat jajanan malam Gladag Langen Bogan atau biasa disingkat Galabo, yang baru diresmikan tahun lalu. Segala makanan tradisional khas Solo bisa ditemukan disini. Ada tengkleng, nasi liwet, sate buntel, gudeg ceker, bestik, timlo, hingga pecel ndeso. Konsepnya mirip alfresco dining, tapi dengan sentuhan Jawa pedagang berjejer didalam kedai, sementara pengunjung makan dibawah payung-payung kecil atau lesehan di atas tikar. Grup musik lokal coba menyalakan malam dengan menggelar pertunjukan disudut Galabo. Ada lebih dari 100 kedai makanan sederhana mengular, siap untuk dipilih. Saya tak melihat kehadiran pengamen atau pengemis. Kata salah satu penjual, mereka memang dilarang masuk demi menjaga kenyamanan pengunjung. Galabo bisa dinikmati dari jam lima sore hingga 12 dini hari, akhir pekan bisa lebih larut lagi. Pusat jajanan ini mengingatkan saya akan “Kya Kya Kembang Jepun” di Surabaya. Murah, meriah dan enak.